Keasyikan Dalam Pendakian Gunung
Keasyikan Dalam Pendakian Gunung
Mendaki
itu belajar susah. Jalan kaki berkilo-kilo meter dengan beban di punggung,
jalannya pun bukan jalan biasa, tanjakan; menghabiskan waktu lebih dari sehari;
tidur di tenda sempit ala kadarnya; suhu yang dingin; kadang harus diterpa
hujan badai; air terbatas; buang hajat pun susah. Pulangnya? Capek sekujur
tubuh, betis membengkak, muka menghitam bahkan sampai mengelupas.
Tapi
kenapa masih mendaki? Ini jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bikin kamu
penasaran tentang pendaki.
1. Mengapa harus mendaki
gunung?
Mamaku
juga bertanya seperti itu, “kenapa harus gunung? Masih banyak tempat lain untuk
refreshing“.
Kalo
Umu bilang di gunung istilahnya hanya menumpang tidur dengan suasana berbeda?
Bener banget, numpang tidur dengan kondisi dan suasana jauh berbeda dengan
nyamannya kasur di kamar.
Buang
air menyulitkan? Iya, sangat, terlebih untuk cewek. Ini bagian paling tidak
saya suka kalau di gunung, terutama buang air besar. Tapi ya mau gimana lagi,
nikmati saja kalau waktunya datang. Tidak semua cewek pasti mau mengalami hal
seperti ini, apalagi yang terkenal “bersih”, buang hajat tanpa kakus dan air
pasti terbayang jijik, belum lagi khawatir kalau ada yang tiba-tiba lewat,
jangan-jangan batal naik gunung gara-gara terlalu memikirkan ini.
Layaknya
pantai, taman hiburan, mall, kebun binatang, bioskop, Dufan yang jadi destinasi
untuk liburan, kami memilih gunung untuk destinasi yang lebih disukai. Diantara
pilihan tersebut, pasti ada salah satu yang lebih kamu suka kan dibanding yang
lain?
2. Apa yang kamu cari di
gunung?
Ya,
memang di gunung tak ada taman rekreasi, tidak ada minimarket, mall, ataupun
tempat nongkrong.
Gunung
mengajarkan kami bahwa setiap sesuatu itu berharga dan kita sering lupa karena
di kehidupan kita yang normal itu semuanya serba ada.
Misal,
air. Di suatu perjalanan kami di Merbabu kami kehabisan air, bahkan air
bercampur belerang yang rasanya asam-asam gimana itu pun habis. Di rumah? Mau
mandi berember-ember pun kita tak sadar dan tak akan kepikiran bagaimana kalau
seandainya tidak ada air.
Di
gunung itu serba tidak ada, menyadarkan kita bagaimana berharganya yang ada
itu: nyamannya kasur di kamar yang empuk itu, bahagianya punya wc yang tiap
habis dari wc selalu ploong, lampu-lampu yang bikin malam tidak gelap.
3. Apa yang membuatmu begitu termotivasi dan
antusias untuk selalu melakukan pendakian?
Apakah
foto-foto yang berseliweran di sosial media membuatmu ingin menirunya?
Foto-foto yang indah-indah itu tentu menggiurkan.
Pergi
ke gunung untuk melarikan diri dari masalah? Kita tentu paham masalah cuma akan
hilang kalau diselesaikan, melarikan diri kemanapun tetap tak akan hilang.
Mungkin bukan melarikan diri, tapi menenangkan diri atau mencari inspirasi. Ya
lain hal kalau masalahnya ada untuk dilupakan, misalnya: naik gunung karena
putus cinta supaya lupa sedihnya. Siapa tahu di gunung ketemu jodoh jadi lupa
kalau lagi patah hati, ups.
Apa
yang membuat begitu termotivasi dan antusias?
Ah,
ini soal perasaan. Perasaan yang mengalahkan semua hal tentang tidak enaknya
mendaki. Saya bilang mendaki gunung itu layaknya mencari rindu.
Di
kos saya hanya makan mie instan hanya jika benar-benar ingin dan itu cukup
jarang, tapi sampai puncak gunung dengan baju basah keringat perut keroncongan,
supe*mi rasa ayam bawang dengan telur setengah mateng itu istimewa! Ini namanya
mencari rindu, rindu mie instan.
Pernah
juga diberi pendaki lain cookies satu piece saat dingin badai dan tak punya
snack apapun saat perjalanan ke puncak, rasanya… senang banget! Dalam hati
langsung bilang, “turun nanti pokoknya harus beli cookies, yang kayak gini”.
Padahal kalau di kos, meski punya cookies berbulan-bulan tetap saja cuma
teronggok di atas meja.
4. Menaklukan berbagai puncak gunung, seperti
apa rasanya?
Foto-fotomu
di banyak gunung dipampang dengan jelas dengan caption ‘… MDPL. Kamu kapan ke
sini?’ Haha, saya punya foto sejenis seperti yang kamu bilang ini lo, Umu.
Bangga?
Kamu harus tahu tidak semua pendakian itu akan selalu mendapat panorama
terbaik: lautan awan yang mempesona, sunrise yang tak akan kamu temui seindah
di sana, hijaunya padang rumput yang bikin betah, atau bunga edelweiss yang
bermekaran. Ada kalanya kita harus diterpa hujan deras, kabut tebal nan dingin,
juga badai. Lupakan soal foto, bertahan
untuk melewatinya itu yang lebih bikin bangga.
Ada
ribuan orang yang sudah sampai puncak yang sama. Ada ribuan orang lagi yang
sudah sampai puncak-puncak gunung lain. Daripada bangga, saya jauh lebih merasa
bahagia karena ada tempat yang belum pernah saya lihat, akhirnya langkah kakiku
berhenti di sana.
5. Apakah tiap pendakian harus mencapai puncak?
Walau
beberapa kali mendaki saya selalu sampai puncak, tapi puncak bukanlah harga
mati. Kamu sendiri yang paling tahu apakah kamu sanggup atau tidak?.
Teman-teman pendakian ada untuk memotivasi kita, dan biasanya selalu berhasil membuat
kita untuk tak menyerah.
Pendakian
sepertinya sangat melelahkan? Benar. Selain mendaki, tidak pernah saya merasakan
selelah mendaki yang bikin dua hari “hibernasi”, kaki yang rasanya kalau bisa
ingin saya copot dulu sementara karena saking pegalnya, muka jadi hitam dan
kadang mengelupas karena suhu yang ekstrim.
Apa
itu sepadan dengan yang didapat di
puncak? Nampaknya saya harus menggunakan kalimat sejuta pendaki untuk
pertanyaan ini “Rasakan sendiri, maka kau akan tahu nikmatnya mendaki”. Kalau
belum merasakan nikmatnya mendaki pasti selalu berpikiran jika mendaki itu
banyak ruginya daripada untungnya. Tapi nyatanya saya selalu ketagihan mendaki,
bahkan saya rindu berpeluh-peluh dengan langkah yang tinggal perlahan-lahan.
6. Foto atau nyawa?
Berfoto
di tempat-tempat berbahaya di gunung demi eksistensi diri di sosial media namun
beresiko celaka atau pulang dengan selamat meski hanya dengan foto-foto yang
biasa saja?
Jawaban
saya: sebagian besar pendaki tidak menjadikan puncak sebagai tujuan, melainkan
pulang dengan selamat. Jadi kamu tahukan apa yang kami pilih?
7. Apakah rumahmu tidak lebih hangat?
pendaki
Penambang
belerang di Gunung Welirang. Foto oleh Tri Yulni
“Karena
untuk menjadi seorang petualang tidak harus selalu keluar dari rumah”. Saya
bingung dengan pernyataan ini, Umu. Petualangan bagaimana yang dilakukan di
dalam rumah?
Apa
kamu pikir mereka yang tinggal di rumah memiliki pengetahuan yang cetek dan
tidak menikmati hidup? Pengetahuan mungkin tidak, teknologi yang begitu maju
sekarang ini mempermudah kita untuk belajar dimana saja, tapi pengalaman jelas
iya, dunia ini luas maka keluarlah dari rumahmu. Banyak interaksi yang harus
kamu lakukan, banyak pengalaman yang akan kamu dapatkan.
Belum
pernah kan dikasih air 1500 ml oleh orang asing, padahal saat itu tidak ada
sumber air dan sama-sama membutuhkannya? Keluarlah! Masih ada orang baik di
luar sana yang hatinya mengajarkan kita untuk berbagi.
Belum
pernah kan lihat penambang belerang yang naik ke puncak gunung memikul gerobak
kayu dan turun menarik gerobak berisi berkilo-kilo gram belerang? Keluarlah!
Ternyata ada orang yang lebih tidak beruntung yang mengajarkan kita untuk lebih
bersyukur. Tidak jadi soal kemana tujuanmu, meski itu bukan gunung, keluarlah!.
Kunjungi tempat-tempat yang belum pernah kamu lihat.
Rumah
akan selalu jadi tempat paling hangat, selalu jadi tempat pulang. Kadang kita
harus keluar meninggalkannya, mencari rindu, agar tahu bahagianya pulang.
Baca juga artikel berikut :
1. >> Penyebab Kematian Pendaki Gunung <<
2. >> Gerakan Peduli Sampah Indonesia <<
3. >> Milad Pendaki Gunung Indonesiahttps://tehnikpendaki.blogspot.co.id/ <<
Di Tulis Oleh : Kumasheny
Di Unggah Disunting Oleh : Rahmat Winarno
Di Dukung Oleh :
Post a Comment